Photoby/google |
Manusia hidup di alam semesta tidak terlepas
dari “hubungan sosial”. Ranah kehidupan yang mewajibkan manusia terikat dengan
sosial sangat jelas sesuai dengan kata “manusia adalah makhluk sosial” yang
dipraktikkan dalam hidup bermasyarakat. Bahkan Allah swt menjelaskan dalam
Al-qura:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat:13).
Sebagai makhluk sosial, manusia hidup berkelompok mulai dari satuan paling
kecil yaitu keluarga, hingga paling besar seperti bangsa dan umat manusia. Manusia
dituntut untuk berinteraksi dengan lingkungan. Pada dasarnya, manusia yang
memiliki kepribadian dan keinginan yang berbeda dalam diri dapat menciptakan
konflik dengan lingkungannya, sehingga manusia disebut juga sebagai homo conflictus yaitu makhluk yang selalu
terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan.
Konflik merupakan bahasa serapan
dari bahasa Inggris conflict yang
berarti percecokan, perselisihan, pertentangan. Conflict berasal dari bahasa
latin configere yang memiliki arti
saling memukul. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis mengenai konflik
seperti warisan kehidupan sosial sebagai akibat dari adanya ketidaksetujuan,
kontroversi atau pertentangan antara beberapa pihak yang berlangsung secara
terus-menerus. Konflik sosial merupakan pertentangan antaranggota masyarakat
yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Hal ini dapat diselesaikan dengan banyak
cara, bahkan sampai menimbulkan aksi kekerasan.
Salah satu kasus yang dikutip dari
hasil laporan kompas pada etnis Rohingya di Myanmar beberapa tahun
terakhir telah menjatuhkan banyak korban secara fisik maupun psikologis, mulai
dari bayi hingga lanjut usia. Rohingya adalah etnis yang tidak memiliki status
warga negara, walaupun mereka telah hidup di Myanmar selama beberapa generasi. Konflik
ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, seperti dari sisi agama yang
diikuti dengan ketegangan antaretnis akibat politik dan ekonomi. Komunitas
Rakhine merasa terdiskriminasi oleh pemerintah pusat yang didominasi etnis
Burma. Rakhine adalah negara bagian dengan warga paling miskin, walaupun
memiliki sumber daya alam yang besar. Kedatangan etnis Rohingya di wilayah
tersebut menjadi titik bahaya bagi etnis Rakhine, mereka merasa etnis Rohingya
menjadi pesaing dalam perebutan sumber daya sehingga menimbulkan konflik dari
dua kelompok etnis tersebut. Pekerjaan dan bisnis di negara tersebut sebagian
besar dikuasai oleh kelompok elit Burma, sehingga rasa tidak suka warga Buddha
terhadap Rohingya bukan hanya masalah agama, namun didorong oleh politik dan
ekonomi.
Konflik tersebut memberikan efek yang besar, Seperti kerusakan lingkungan karena pembakaran rumah warga sehingga menimbulkan pencemaran udara, hilangnya harta benda yang dapat menyebabkan angka kemiskinan semakin meningkat, menurunnya rasa solidaritas antarumat beragama, banyaknya korban jiwa akibat penyakit dan pembunuhan. Berdasarkan hasil laporan dari UNICEF menjelaskan bahwa seratus lima puluh anak meninggal setiap hari sebelum mencapai usia lima tahun. Penyakit pada bayi yang baru lahir tanpa pengobatan juga menjadi pemicu faktor pembunuh terbesar. Hingga saat ini, anak balita yang mengalami gizi buruk hampir mencapai tiga puluh persen. Konflik ini dapat menjadi trauma bagi korban yang dapat menganggu proses perkembangan, terutama pada anak-anak.
Kasus sosial yang terjadi pada etnis Rohingya adalah contoh kasus mengenai konflik sosial. Faktor penyebab terjadinya konflik ini dimulai dari sisi agama yang diikuti dengan ketegangan antaretnis akibat politik dan ekonomi. Masalah ini dapat diselesaikan menggunakan strategi bilateral, seperti diskusi, persuasi maupun negosiasi antara kedua etnis. Selain itu, konflik tersebut tidak dapat selesai jika tidak ada kerjasama dan tanggungjawab dari setiap negara di seluruh dunia untuk ikut serta membuka dan menerima warga Rohingya tanpa adanya diskriminasi minoritas etnis Rohingya. Namun, saat ini bantuan seperti makanan, pakaian, dan obat-obatan dari negara di berbagai belahan dunia sangat dibutuhkan dan harus diberikan secara merata.
Penulis:
Zihan Fahira