» » Berartikah Tangisan Mereka....?

Berartikah Tangisan Mereka....?

Penulis By on Kamis, 14 September 2017 | No comments


Photoby/google
Manusia hidup di alam semesta tidak terlepas dari “hubungan sosial”. Ranah kehidupan yang mewajibkan manusia terikat dengan sosial sangat jelas sesuai dengan kata “manusia adalah makhluk sosial” yang dipraktikkan dalam hidup bermasyarakat. Bahkan Allah swt menjelaskan dalam Al-qura:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat:13). Sebagai makhluk sosial, manusia hidup berkelompok mulai dari satuan paling kecil yaitu keluarga, hingga paling besar seperti bangsa dan umat manusia. Manusia dituntut untuk berinteraksi dengan lingkungan. Pada dasarnya, manusia yang memiliki kepribadian dan keinginan yang berbeda dalam diri dapat menciptakan konflik dengan lingkungannya, sehingga manusia disebut juga sebagai homo conflictus yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan.

            Konflik merupakan bahasa serapan dari bahasa Inggris conflict yang berarti percecokan, perselisihan, pertentangan. Conflict  berasal dari bahasa latin configere yang memiliki arti saling memukul. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis mengenai konflik seperti warisan kehidupan sosial sebagai akibat dari adanya ketidaksetujuan, kontroversi atau pertentangan antara beberapa pihak yang berlangsung secara terus-menerus. Konflik sosial merupakan pertentangan antaranggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Hal ini dapat diselesaikan dengan banyak cara, bahkan sampai menimbulkan aksi kekerasan.

            Salah satu kasus yang dikutip dari hasil laporan kompas  pada etnis Rohingya di Myanmar beberapa tahun terakhir telah menjatuhkan banyak korban secara fisik maupun psikologis, mulai dari bayi hingga lanjut usia. Rohingya adalah etnis yang tidak memiliki status warga negara, walaupun mereka telah hidup di Myanmar selama beberapa generasi. Konflik ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, seperti dari sisi agama yang diikuti dengan ketegangan antaretnis akibat politik dan ekonomi. Komunitas Rakhine merasa terdiskriminasi oleh pemerintah pusat yang didominasi etnis Burma. Rakhine adalah negara bagian dengan warga paling miskin, walaupun memiliki sumber daya alam yang besar. Kedatangan etnis Rohingya di wilayah tersebut menjadi titik bahaya bagi etnis Rakhine, mereka merasa etnis Rohingya menjadi pesaing dalam perebutan sumber daya sehingga menimbulkan konflik dari dua kelompok etnis tersebut. Pekerjaan dan bisnis di negara tersebut sebagian besar dikuasai oleh kelompok elit Burma, sehingga rasa tidak suka warga Buddha terhadap Rohingya bukan hanya masalah agama, namun didorong oleh politik dan ekonomi.

            Konflik tersebut memberikan efek yang besar, Seperti kerusakan lingkungan karena pembakaran rumah warga sehingga menimbulkan pencemaran udara, hilangnya harta benda yang dapat menyebabkan angka kemiskinan semakin meningkat, menurunnya rasa solidaritas antarumat beragama, banyaknya korban jiwa akibat penyakit dan pembunuhan. Berdasarkan hasil laporan dari UNICEF menjelaskan bahwa seratus lima puluh anak meninggal setiap hari sebelum mencapai usia lima tahun. Penyakit pada bayi yang baru lahir tanpa pengobatan juga menjadi pemicu faktor pembunuh terbesar. Hingga saat ini, anak balita yang mengalami gizi buruk hampir mencapai tiga puluh persen. Konflik ini dapat menjadi trauma bagi korban yang dapat menganggu proses perkembangan, terutama pada anak-anak.

            Kasus sosial yang terjadi pada etnis Rohingya adalah contoh kasus mengenai konflik sosial. Faktor penyebab terjadinya konflik ini dimulai dari sisi agama yang diikuti dengan ketegangan antaretnis akibat politik dan ekonomi. Masalah ini dapat diselesaikan menggunakan strategi bilateral, seperti diskusi, persuasi maupun negosiasi antara kedua etnis. Selain itu, konflik tersebut tidak dapat selesai jika tidak ada kerjasama dan tanggungjawab dari setiap negara di seluruh dunia untuk ikut serta membuka dan menerima warga Rohingya tanpa adanya diskriminasi minoritas etnis Rohingya. Namun, saat ini bantuan seperti makanan, pakaian, dan obat-obatan dari negara di berbagai belahan dunia sangat dibutuhkan dan harus diberikan secara merata.

Penulis: Zihan Fahira

Mahasiswi Psikologi Unsyiah Angkatan 2016
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya